Followers

Selasa, 14 Mei 2013

PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN NILAI-NILAI TAUHID ( KAJIAN SURAT AL-BAQARAH 255 )




Karya Tulis Ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Pendidikan Agama Islam Semester Pertama
Tahun Ajaran 2012/2013






Disusun oleh:
Atika Arisanti /31801200449

FAKULTAS BAHASA
                                        UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG KOTA SEMARANG


KATA PENGANTAR
Assalamu’alikum.Wr.Wb
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya bagi semua penciptan-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap di limpahkan kepada nabi besar kita Rasulullah Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam,beserta keluarga,para sahabat,dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Atas rahmat dan hidyah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini yang berjudul “PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIIDKAN NILAI-NILAI TAUHID ( KAJIAN SURAT AL-BAQARAH AYAT 255 )”.
Karya tulis ini disusun dalam rangka untuk memenuhi tugas semester pertama mata kuliah Pendidikan Agama Islam program studi Pendidikan Bahasa Inggris.
Dalam penyusunan karya tulis ini penulis banyak mengalami kesulitan.Namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak akhirnya penulis mampu menyelesaikannya dengan tepat waktu.Oleh karena itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya karya tulis ini,baik berupa bantuan materiil atupun moril.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya karya tulis ini. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Wassalamu’alaikum,Wr.Wb.

DAFTAR ISI


    A. HALAMAN JUDUL …………………………………
    B. KATA PENGANTAR ………………………………..
    C.  DAFTAR ISI ………………………………………...
    D.  BAB I
PENDAHULUAN
            1.1 Latar  Belakang ……………………………..
1.2 Rumusan Masalah ……………………………
1.3 Tujuan ……………………………………….
1.4  Kajian Pustaka………………………………
    E.  BAB II
 ISI
2.1Pengertian Pendidikan Nilai-Nilai Tauhid…………………
2.2  Pembagian Tauhid …………………………………
2.3  Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Ilmu Tauhid………………
2.4  Pemikiran –pemikiran Imam Ghazali tentang  pendidikan
nilai-nilai tauhid yang terdapat pada surat Al-Baqarah 255………
    F.  BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………
3.2 Saran………………………………………
    G.  Daftar Pustaka ………………………………………

 

  BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Manusia pada dasarnya memiliki fitrah untuk beragama, bagaimanapun bentuknya, manusia adalah mahluk yang lemah yang membutuhkan perlindungan dari yang maha kuasa, baik ketika sendiri maupun saat berinteraksi dengan orang lain. Dan manusia merupakan karya allah SWT yang paling istimewa bila dilihat dari sosok diri, serta beban dan tanggung jawab yang diamanatkan kepadanya, sehingga manusia menjadi satu-satunya mahluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Allah SWT yang mampu menjadi sejarah (Jalaludin, 2003: 12), sehingga Islam mengajarkan umatnya untuk mengenal Tuhan melalui firman-firman-Nya dalam Al-QurÂ’an. Al-QurÂ’an sebagai sumber pokok utama ajaran Islam yang mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam setiap diri manusia, yang merupakan fitrah sejak asal kejadian manusia, sebagaimana tertera dalam firman Allah SWT berikut ini:



“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
Di dalam jiwa manusia sebenarnya telah tertanam suatu perasaan naluriah yang diciptakan Allah SWT yaitu fitrah beragama, yakni agama Islam. Islam adalah agama yang mendatangkan kedamaian dan kebahagiaan bagi umat manusia apabila mereka (umat Islam) mau memasrahkan dirinya kepada Allah SWT dan menyerahkan kemauan mereka kepada kehendaknya. Jalan untuk mengenal Allah SWT sebagai kelanjutan dari fitrah manusia tersebut adalah dengan berfikir tentang ciptaannya yang indah serta melalui sifat-sifatnya yang agung, dan bukan tentang zatnya.
Untuk mengaktifkan potensi ini (fitrah beragama), maka Allah SWT menjadikan alam ini dan semua isinya termasuk diri manusia sendiri-sebagai ayat Allah SWT yang terbuka, yang harus dibaca, dan dianalisa maknanya, baik untuk individual, vertical, maupun untuk individual horizontal (Yulis, 2004:279)
Mengenal Allah SWT (maÂ’rifatullah) dalam ajaran Islam ditegaskan dalam ajaran tauhid. Apabila seseorang telah menganut aqidah tauhid (mengesakan Allah SWT) dalam pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dalam dirinya sebagai aktifitas yang kesemuanya itu merupakan ibadah kepada Allah SWT.
Al-QurÂ’an telah banyak mengungkapkan dengan jelas tentang keyakinan akan keesaan Allah SWT seperti, dalam firman-Nya pada QS (2);255, (10); 90-91, (13);28, (21);25, (41);30 dan masih banyak lagi. Memang, Al-QurÂ’an diturunkan dengan berangsur-angsur, hal Ini bermaksud agar umat Islam dapat membacanya sedikit demi sedikit, kemudian merenungkan dan menghayati kandungannya untuk kemudian mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dengan cara inilah kita dapat mengetahui kandungan Al-QurÂ’an yang sebenarnya.
Terkait dengan keutamaan tauhid yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang tauhid yang terdapat pada tafsir surat Al-Baqarah, ayat 255, yang disebut dengan ayat kursi, karena ayat kursi merupakan satu-satunya ayat yang terdapat dalam Al-Quran, ia merupakan tuan dari ayat-ayat pada Al-Qur’an yang lain, bahkan merupakan ayat yang paling mulia didalam AL-Qur’an, dan Allah SWT telah memuliakan dan memuatnya di dalam kitabnya yang mulia (Al-Qur’an) (Al-Sya’rawi, 2008: 1-2). Ayat kursi, sebagaimana dikutip dari pendapat Al-Ghazali juga disebut sebagai penghulu ayat Al-Qur’an karena semata-mata mengungkapkan zat Allah SWT, sifat-sifatnya dan karya-karyanya. Ketika kita mau menelaah kandungan ayat kursi, terdapat suatu pelajaran tauhid didalamnya, sebagaimana diungkapkan diatas, yakni melalui perenungan dan mempelajari sifat dan hasil ciptaannya. Adapun tentang penamaan ayat kursi ini bagi QS Al-Baqarah ayat 255 adalah karena adanya penyebutan kata “kursi” pada ayat tersebut. (Ghazali, 1999: 77).

Sehubungan dengan keutamaan ayat kursi dalam bidang tauhid, maka kita sudah seharusnya mengedepankan aspek-aspek atau nilai-nilai ketauhidan dalam proses pembelajarannya sehingga akan menghasilkan output yang memiliki iman dan berakhlak mulia sebagai generasi penerus agama, oleh karena itu, dalam pelajaran pendidikan Agama Islam (PAI), tauhid ini diajarkan dalam tema keimanan kepada Allah SWT.
Untuk itulah dalam skripsi ini penulis bermaksud mengkaji nilai-nilai tauhid yang terdapat dalam ayat kursi dan metode pembelajaran yang digunakan untuk mengajarkannya, sehingga konsep ketuhanan dapat diterima dengan tepat oleh peserta didik.
1.2  Rumusan Masalah
            Setelah diuraikan pada bagian latar belakang diatas, maka terdapat beberapa masalah yang menarik yang dapat dikaji dengan seksama terkait dengan nilai-nilai tauhid dan pengajarannya dalam pendidikan agama Islam. Adapun masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan nili-nilai tauhid?
2.      Bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali tentang  pendidikan nilai-nilai tauhid yang terdapat pada surat Al-Baqarah 255?

1.3  Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, maka terdapat tujuan dan kegunaan dari penelitian ini, adapun tujuan dan kegunaannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan nilai-nilai tauhid .
2. Untuk mengetahui pemikiran Imam
Al-Ghazali tentang pendidikan nilai-nilai tauhid dalam surat Al-Baqarah 255. 
3.Untuk memperluas wawasan penulis tentang pemahaman kandungan surat Al-Baqarah ayat 255 melalui penafsiran Imam Al-Ghazali.

1.4  Kajian Pustaka
            Biografi  Imam al-Ghazali,
Abu Hanid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali yang biasa di panggil al-Ghazali lahir di Ghazalah bagian tepi kota Thus, Persia pada tahun 450 H (1050 M) dari keluarga peminta benang (ghazali shuf), sehingga namanya pun di nisbahkan orang kepada pekerjaan tersebut atau di nisbahkan kepada tempat lahirnya yaitu kampung ghazalah.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang saleh. Namun ia meninggal saat Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad masih kecil. Akan tetapi sebelum meninggal ayahnya menitipkan Al-ghazali pada Imam Ahmad bin Muhammad Ar-Razkan di Thus yang juga seorang sufi, sehingga iapun dapat belajar dari sang sufi. Setelah itu ia merantau ke Jurjan dan belajar pada Abu Nashr Al-Ismail. Namun ia masih merasakan kahausan akan ilmu, maka ia berangat ke Naisabur belajar dengan Imam Al-Haramain Abdul- Ma’ali Al- Juwaini sampai tahun 1085 M. bersama ini ia belajar ilmu kalam, manthiq dan fiqih. Setelah Al-juwaini meninggal, maka Al-Ghazali berangkat ke Mu’askar dan bertemu dengan perdana mentri Bani Seljuk yang bernama Nizamul Muluk. Saat itu Nizamul Muluk sedang mencari tenaga pengajar untuk universitas yang baru didirikannya di Baggdad.. bernama universitas Nizamiyah. Selama memangku jabatan tersebut ia di liputi gemilangnya kemewahan dunia dan ilmu pengetahuan. Di masa inilah ia banyak menulis buku ilmiyah dan filsafat.dari sini pulalah muncul berbagai pertanyaan dari sanubarinya terhadap daya serap indra dan olahan akal betul-betul menyelimuti dirinya. Akhirnya ia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiyahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal di sana sambil merenung, membaca, dan menulis. Dari kesunyian Damaskus mulailah tampak jalan terang yakni jalan sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata, tetapi disamping akal ada pula cahaya yang dilimpahkan Allah SWT untuk menutunnya pada jalan kebenaran.
Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan seterusnya kembali ke kampungnya Thus. Disini ia menghabiskan hari-harinya dalam mengajarkan dan beribadah sampai ia meninggal pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan.
Karya Imam Ghazali
Meskipun beliau elah meninggal dunia, namun karya-karyanya tetap hidup di tengah-tengah dunia ilmiah. Keluasan ilmunya, argumentasinya-argumentasinya yang sukar di bantah membuat karyanya menjadi acuan para ilmuan. Sesuai dengan ilmunya, ia telah menulis berbagai buku, yaitu :
1.      Di bidang fiqih dan usul : Al-Wajiz, Al-wasisth, dan Al Mustafa min illmal-ushul.
2.      Di bidang ilmu kalam : Al-Iqtiqad fil-I’tiqad
3.       Manthiq/ ilmu pasti : Mi’yarul-almi( standart ukuran pengetahuan ), Al-Qistas, al- Mustaqim (the just balance ), Mibakk al-Nazar fil al-Manthiq (the touch stone of proof in logic)
4.      Teologi : Al-Muqidh min adh-dalal, Al- iqtishad fil al-Itiqad, Al-Risalah al-Qudsiyyah, al-arbain fi ushul ad-din,Mizan al-amar,ad durrah al-Fakhirah fi kasyf ulum al akhirah.
5.      Tasawuf : Hiya ulumuddin ( kebangkitan ilmu-ilmu agama ),Kimiya assa’adah ( kimia kabahagiaan ), Isykah al-anwar (relung dari cahaya )
6.       Filsafat : Maqashidull falasifah (kelemahan para filosof), Al-Mungizu Minadh-dhalal (perjalanan hidup dalam mencari kebenaran, merupakan buku terakhir karya Al-ghazali).
Demikian karyanya selama perjalanan hidupnya yang merupakan cermin nyata dari jalan pemikirannya yang dimulai dari memahami hokum islam, kemudian berfalsafah dan terakhir tenggelam dalam dunia sufi. Atas kepandainnya dalam mempertahankan akidah sunni dari pemikiran filsafat yang berdasar akal semata dan pengaruh kebatinan yang telah keluar dari garis agama, dan atas karyanya itulah ia mendapat gelar Hujjatul- islam (Argumen Islam).


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pendidikan Nilai-Nilai Tauhid
Tauhid secara bahasa berasal dari kata Wahid (وا حد) yang berarti satu. Menurut Istilah, tauhid adalah keyakinan tentang satu atau Esanya Tuhan, dan segala pikiran dan teori berikut dalil-dalilnya serta soal-soal kepercayaan dalam Agama Islam. Sebagai pembanding, para ulama mendefiniskan tauhid adalah ilmu yang membahas segala kepercayaan keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.
Pendidikan nilai-nilai tauhid adalah ilmu yang mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak ada sekutunya.
Seperti yang terdapat dalam kitab tauhid Imam Bukhari yaitu  hadits ahad sebagai hadits pertama( hadits Mu’adz):
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ 
 كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ

"Sesungguhnya engkau akan datang kepada kaum Ahli Kitab, maka hendaklah yang pertama kali kau serukan, adalah supaya mereka beribadah kepada Allah. Jika mereka sudah mengenal Allah, maka beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka sudah melakukan hal itu, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan mereka zakat dari harta benda mereka dan zakat itu diberikan kepada orang fakir mereka. Jika mereka taat, maka ambillah dan hindarilah harta kesayangan (berharga) mereka".
2.2 Pembagian Tauhid                            
Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga yaitu:
1.      Tauhid Rububiyyah
Tauhid Rububiyyah  adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll.
2.      Tauhid Uluhiyah
Mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang dilakukan hamba. Yaitu mengikhlaskan ibadah kepada Allah, yang mencakup berbagai macam ibadah seperti : tawakal, nadzar, takut, khosyah, pengharapan, dll. Tauhid inilah yang membedakan umat Islam dengan kaum musyrikin. Jadi seseorang belum cukup untuk mentauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya (Tauhid Rububiyah) tanpa menyertainya dengan mengikhlaskan semua ibadah hanya kepada-Nya (Tauhid Uluhiyah). Karena orang musyrikin dulu juga meyakini bahwa Allah yang mencipta dan mengatur, tetapi hal tersebut belum cukup memasukkan mereka ke dalam Islam.
3.      Tauhid Asma Wa Sifat
Mengimani dan menetapkan apa yang sudah ditetapkan Allah di dalam Al Quran dan oleh Nabi-Nya di dalam hadits mengenai nama dan sifat Allah tanpa merubah makna, mengingkari, mendeskripsikan bentuk/cara, dan memisalkan. Untuk pembahasan yang lebih lengkap bisa merujuk ke beberapa kitab diantaranya Aqidah Washithiyah, Qowaidul Mutsla, dll.
2.3 Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Pendidikan Nilai-Nilai Tauhid
a) Tingkatan-tingkatan tauhid menurut Imam Ghazali:
Dalam kupasannya tentang tauhid ini ternyata al-Ghazali telah mencapai pada pembahasan tentang al-fana yang didalamnya ia membagi al-tauhid menjadi empat tingkatan yaitu :
 1.) Al-Tauhid yang berwujud ucapan seseorang bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, sedang hati seorang tersebut lalai bahkan ingkar terhadapnya,seperti yang tampak pada orang munafiq.
2.) Al-Tauhid yang di ikuti dengan pembenaran hati terhadap apa yang telah di ucapkan. Tingkatan ini di jalani oleh orang awam dari kalangan kaum muslimin.
3.) Dengan jalan al-kasyf seseorang melihat sesuatu yang beraneka ragam sebagai sumber dari tuhan yang satu. Tingkat ini di capai oleh para Muqabirin.
4.)Dalam tingkatan ini seseorang tidak melihat dalam wujud ini kecuali melihat tuhan saja. Hal ini dapat di saksikan oleh para shaddiqin. Para sufi menyebutnya sebagai al-fana fi al-Tauhid.
Menurut Al-Ghazali, Al-Tauhid dalam tingkat keempat ini tidak boleh dijelaskan secara mendalam. Karena ini merupakan puncak dari ilmu-ilmu Mukasyafah, sedangkan rahasia-rahasia dari ilmu ini tidak di tuliskan dalam kitab. Sebab,seperti yang di katakana oleh para arifin,membukukan secara luas tentang rahasia ketuhanan merupakan kekufuran.
b) Tauhid Asma Wa Sifat menurut Imam Ghazali
1. Sifat Hayat dan Qudrat
Allah swt Maha Hidup (Hayat) dan Maha Kuasa (Qudrat), Maha Perkasa yang tidak kenal keterbatasan dan kelemahan, tidak kenal mengantuk dan tidur, tidak terkena keausan (fana) dan kematian.
Dia pemilik kerajaan, alam Malakut, keagungan dan alam Jabarut, Dia Yang memiliki kekuasaan, kekuatan, untuk boleh memaksa, penciptaan dan titah perintah. Langit di lipat dengan ‘Tangan Kanan-Nya’, seluruh makhluk terpaksa dalam ‘Genggaman-Nya’.
Dia sendirian dalam mencipta, membangun dan berkreasi. Dia menciptakan makhluk-Nya dan seluruh perbuatan yang telah di takdirkan tidak ada yang lepas dari ‘Genggaman-Nya’. Segala pelaksanaan seluruh masalah tidak pernah ada yang luput dari kekuasaan-Nya. Seluruh apa yang di takdirkan-Nya tidak boleh di hitung, apa yang Dia ketahui tidak pernah berakhir.
2. Sifat Ilmu
Allah swt Maha Mengetahui seluruh objek pengetahuan. Dengan Ilmu-Nya Dia mengetahui secara sempurna terhadap segala apa yang berlaku di bumi yang paling rendah sampai yang ada di langit yang tertinggi. Semuanya tidak pernah ada yang luput dari jangkauan Ilmu-Nya walau sebesar atom, baik yang ada di langit dan di bumi, bahkan Dia tahu gerakan dan merayapnya semut hitam yang ada di batu hitam yang keras pada malam yang gelap gelita.
Dia mengetahui gerak atom di ruang angkasa. Dia Maha Mengetahui segala rahsia dan yang sangat tersembunyi. Dia melihat suara dan bisikan hati serta rahsia-rahsia hati nurani dengan Ilmu-Nya yang Qadim dan Azali, dimana Dia senantiasa menyandang Sifat-sifat Azali, bukan dengan ilmu baru yang di peroleh dalam Dzat-Nya dengan cara bertempat dan berpindah-pindah.
3. Sifat Iradat
Allah swt adalah Yang Menghendaki adanya alam raya, Yang mengelola sarwa jagat yang serba baru. Sehingga tidak pernah ada sesuatu pun yang berlaku dalam sarwa kekuasaan-Nya kecuali kerana keputusan Qadha’, Qadar-Nya, kebijakan hukum dan Iradat (kehendak)-Nya, baik sesuatu itu sedikit atau banyak, kecil atau besar, baik atau buruk, merbahaya atau manfaat, iman atau kufur, mengetahui atau tidak mengetahui, untung atau rugi, lebih atau kurang, taat atau maksiat.
Maka apa yang di kehendaki-Nya akan terjadi dan apa yang tidak di kehendaki-Nya tidak akan terjadi; tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa kehendak-Nya, walaupun hanya sekejap mata atau sebersit fikiran. Lebih jauh lagi Dia adalah Pencipta awal dan Yang mengembalikan seperti semula, Dia Maha Berbuat apa yang di kehendaki-Nya. Tiada yang boleh menolak terhadap apa yang menjadi keputusan hukum-Nya dan tidak ada yang boleh menyalahkan keputusan-Nya.
Tidak ada tempat berlari bagi seorang hamba dari kemaksiatan yang telah ia lakukan kecuali kerana pertolongan dan rahmat-Nya. Tidak ada kekuatan bagi seorang hamba untuk berbuat taat kepada Allah kecuali kerana Kehendak dan keinginan-Nya. Maka kalau misalnya manusia, jin, malaikat dan syaithan berkumpul untuk bersama-sama menggerakkan atau menghentikan atom di alam ini dengan tanpa Kehendak Allah dan Keinginan-Nya, nescaya mereka tidak akan mampu melaksanakannya.
Sifat Iradat-Nya adalah terkait dengan Dzat-Nya, termasuk juga seluruh Sifat-sifat-Nya yang lain. Dia sentiasa menyandang Sifat Iradat, Dia berkehendak sejak zaman Azali, kerana wujudnya segala sesuatu sesuai dengan waktu yang telah di tentukan sejak zaman azali, dengan tanpa terlambat sedikit pun atau lebih awal dari waktu yang telah di tentukan. Bahkan semua itu terjadi dengan Ilmu dan Iradat-Nya tanpa perubahan dan pergantian. Dia mengatur segala sesuatu dengan tanpa struktur pemikiran, dan tanpa menunggu waktu, kerana Dia tidak di sibukkan oleh urusan-urusan yang ada.
Apabila Dia Kuasa menimpakan berbagai macam bencana kepada hamba-hamba-Nya, menguji mereka dengan berbagai musibah dan malapetaka, maka apabila Dia melakukan hal itu, maka tindakan itu merupakan suatu keadilan, dan bukan suatu tindakan yang buruk dan zalim. Jika Dia memberikan pahala atau janji yang menggembirakan kepada hamba-hamba-Nya yang taat, maka tindakan itu adalah atas dasar kemuliaan dan janji yang di berikan, bukan kerana Dia berhak untuk di tuntut harus melakukannya, kerana bagi Allah tidak ada kewajipan untuk melakukan sesuatu.
Dan tidak boleh di gambarkan bagaimana mungkin ada kezaliman muncul dari Allah, Dia juga tidak wajib melakukan sesuatu kerana ada tuntutan hak dari hamba-Nya, sebab kewajipan hamba adalah melakukan ketaatan yang telah di wajibkan kepada mereka melalui lisan para nabi-Nya, bukan semata-mata kerana keharusan melalui analisa akal. Tetapi Dia mengutus para rasul dan menunjukkan kebenaran kepada mereka melalui mukjizat-mukjizat yang faktual. Dengan demikian, para Nabi itu telah menyampaikan perintah dan larangan Allah, janji dan ancaman-Nya, sehingga makhluk-Nya wajib membenarkan terhadap segala apa yang telah mereka bawa.
Allah swt telah mengutus Nabi yang Ummiy dari suku Quraisy, Muhammad saw dengan membawa risalah-Nya kepada seluruh penduduk Arab dan bukan Arab, jin, manusia, maka terhapuslah berbagai syariat terdahulu kecuali yang di tetapkan kembali. Allah memberikan kelebihan dan keutamaan kepada Nabi Muhammad saw daripada seluruh Nabi yang mendahuluinya, dan menjadikannya sebagai pemimpin manusia.
Allah swt menolak kesempurnaan iman dengan hanya Syahadat Tauhid, iaitu ucapan ‘Laa ilaa ha illallah’ (Tiada Tuhan Yang Berhak di sembah melainkan Allah), yang tanpa di lengkapi dengan Syahadat Rasul, iaitu ucapan ‘Muhammadur Rasuulullah’ (Muhammad adalah utusan Allah). Oleh kerana itu, Allah mewajibkan kepada semua makhluk untuk membenarkan terhadap semua yang di akui oleh Rasulullah, baik yang menyangkut masalah duniawi mahu pun yang berkaitan masalah ukhrawi.
Sesungguhnya iman seorang hamba tidak boleh di terima, sehingga ia mengakui dan menyakini tentang berita-berita setelah kematian yang di sampaikan oleh Rasulullah saw. Yang di awali oleh pertanyaan Mungkar dan Nakir, dua malaikat yang menyeramkan dan berusaha membangunkan hamba di dalam kuburnya sehingga ia (mayat) duduk dengan tegak, baik ruh mahupun jasadnya, kemudian mereka bertanya kepada hamba tentang tauhid dan Risalah. ‘Siapa Tuhanmu, apa agamamu?’ dan ‘Siapa Nabimu?’ Keduanya adalah malaikat penguji di alam kubur, di mana pertanyaannya merupakan awal ujian dalam kubur, setelah kematian.
Seorang hamba harus beriman dan membenarkan adanya siksa kubur, dan sesungguhnya itu adalah sesuatu yang benar dan mesti terjadi. Sementara itu keputusan hukum Allah adalah adil, yang akan di berlakukan terhadap jasad dan ruh sesuai dengan yang di kehendaki-Nya.
Barangsiapa yang meyakini demikian maka ia tergolong Ahlul Haq dan pewaris sunnah, sekaligus berpisah dengan golongan sesat dan bid’ah. Kita mohon kepada Allah swt agar di beri keyakinan sempurna, kukuh dalam agama, bagi kita dan seluruh ummat Islam. Dia Maha Pencurah Kasih. Semoga cinta kasih Allah tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga dan seluruh sahabatnya.

2.4 Pemikiran –pemikiran Imam Ghazali tentang  pendidikan nilai-nilai tauhid yang terdapat pada surat Al-Baqarah 255:
Alloh Ta’ala berfirman:

 




Alloh, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia 67 Yang Hidup kekal 68 lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) 69;tidak mengantuk dan tidak tidur 70. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi 71. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Alloh tanpa izin-Nya 72. Alloh mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka 73, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Alloh melainkan apa yang dikehendaki-Nya 74. Kursi Alloh 75 meliputi langit dan bumi. Dan Alloh tidak merasa berat memelihara keduanya 76, dan Alloh Maha Tinggi 77 lagi Maha Agung 78. (QS. AlBaqarah:255).

Ayat yang penuh berkah ini memiliki keutamaan yang amat besar dan kedudukan yang amat tinggi, dimana ia merupakan ayat yang paling mulia serta paling utama dan paling tinggi kedudukannya di antara ayat-ayat AI-Quran. Tidak ada dalam AlQuran ayat yang lebih agung darinya,sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam  yang shahih, bahwa ayat tersebut adalah ayat yang paling utama dalam kitab Allah.
Ayat kursi diturunkan pada suatu malam setelah hijrah.Menurut riwayat,ketika ayat kursi diturunkan disertai dengan beribu-ribu malaikat sebagai pengantarnya,karena kebesaran dan kemuliaannya.Syaitan dan Iblis menjadi gempar karena adanya suatu alamat yang menjadi perintang dalam perjuangannya.Rasulullah saw segera memerintahkan kepada penulis Al-qur'an yaitu Zaid bin Tsabit agar segera menulisnya dan menyebarkannya. Ada terdapat sembilanpuluh lima buah hadits yang menjelaskan fadlilah ayat kursi.Sebabnya disebut ayat ini dengan ayat kursi,karena didalamnya terdapat perkataan kursi,artinya tempat duduk yang megah lagi yang mempunyai martabat. Dan bukan yang dimaksud dengan kursi ini tempat duduk tuhan,tetapi adalah kursi “Syiar atas Kebesaran Tuhan” jadikanlah kursi meliputi tujuh lapis langit dan bumi,kebesaran tujuh lapis langit dan bumi jika dibandingkan dengan kebesaran kursi adalah seumpama serumpun pohon ditengah padang pasir yang luas.Disamping kiri dan kanan kursi yang megah itu dijadikan pula beribu-ribu kursi yang kecil untuk menambah keindahan dan kemegahannya duduk pada tiap-tiap kursi itu malaikat yang membaca ayat kursi dan malaikat yang menulis pahala orang yang membaca ayat kursi itu.
Imam Gazali menerangkan dalam kitabnya,Khawasul Qur'an :
“Bahwa Ibnu Kutaibah meriwayatkan suatu peristiwa yang terjadi dinegeri Basrah,yaitu salah seorang pedagang kurma bernama Ka'ab telah pergi kenegeri Basrah membawa barang daganganya ,untuk dijual dipasar Basrah.Setelah Ka'ab sampai disana,ia mencari tempat penginapan,tetapi semuanya telah penuh diisi oleh pedagang -pedagang yang telah datang terlebih dahulu.Kemudian Ka'ab melihat sebuah rumah kosong,didindingnya terdapat banyak sarang laba-laba.Kelihatan rumah itu telah lama tidak didiami orang.Ka'ab datang kepada yang punya rumah,ia ingin menyewa tempat itu selama kurang lebih satu minggu.Kata yang punya rumah,rumah itu aneh sekali,selalu menjadi buah bicara masyarakat ramai.Menurut kata-kata orang : Rumah itu ditempati oleh JIN IFRIT.Banyak orang yang menempatinya binasa karenanya.Ka'ab berkata,meskipun demikian,karena tempat lain tidak ada,saya bersedia tinggal ditempat itu,asal saja yang punya rumah mengizinkan.
"Baiklah" kata yang punya rumah."Saya tidak keberatan dan saya tidak memungut sewa apa-apa".Ka'ab tinggal dirumah itu mulai sore hari tidak merasa takut,tetapi setelah tengah malam ka'ab menampak bayangan hitam dengan dua buah mata bernyala-nyala seperti api,mendekati ka'ab,maka segera ka'ab bangun dan membaca : "Allaahulaa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuuum" tetapi bayangan hitam itu selalu mengikuti apa yang dibaca oleh ka'ab sehingga hampir pada akhir ayat.Tetapi setelah ka'ab membaca akhir ayat yang berbunyi "Walaa ya udlu hifdluhumaa wa huwal 'aliyyul 'aziim " tidak terdengar lagi suara yang mengikutinya.
Ka'ab heran dan diulanginya lagi : "Walaa ya uudluhuu hifdluhumaa wahuwal 'aliyyul adhiim" Tetapi tidak terdengar lagi suara yang mengikutinya,maka dibacanyalah berulang kali dan bayangan hitam itupun lenyaplah dari pandangan ka'ab dan tercium sesuatu bau seperti ada sesuatu yang terbakar.Kemudian ka'ab tidur ditempat itu dengan tidak mendapatkan ganguan apa-apa.Dipagi hari ka'ab melihat disalah satu sudut rumah itu bekas-bekas seperti ada sesuatu yang telah terbakar dan tampak ada abu.
Disaat ka'ab mendengar suatu suara berkata : "Hai ka'ab,engkau telah membakar JIN IFRIT yang ganas".Ka'ab heran dan berkata : "Dengan apa aku membakarnya?"Jawab suara itu : "Dengan firman tuhan 'Walaa ya uuduhuu khifdluhumaa wahuwal aliyyul adhiim".
Imam Ghazali berpendapat bahwa yang membaca ayat kursi dengan dawam setiap kali selesai sembahyang fardhu,setiap pagi dan petang,setiap kali masuk kerumah dan kepasar,setiap kali masuk ketempat tidur dan pergi musafir,insya-allah ia akan diamankan dari godaan syetan dan kejahatan raja-raja yang kejam diselamatkan dari kejahatan manusia dan kejahatan binatang-binatang yang memudaratkan.Terpelihara dirinya dan keluarganya,anak-anaknya,hartanya,rumahnya dari kecurian,kekaraman dan kebakaran.Didapatnya keselamatan dan kesehatan jasmaninya dengan izin tuhan yang hidup dan berdiri sendiri (Maha Kaya).
a
“Tujuan utama ilmu-ilmu Al-Qur’an adalah untuk mengetahui Allah, zat dan sifat-sifat-Nya. Sementara itu, Ayat Kursi menyebutkan zat, sifat dan perbuatan Allah SWT yang tidak disinggung oleh ayat-ayat lain. Olehnya itu, dia Sayyidah ayat-ayat Al-Qur’an.
Nilai-nilai tauhid dalam surat Al-Baqarah ayat 255:
1. Tauhid Uluhiyah
Firman-Nya: (الله) menunjukkan zat-Nya, firman-Nya: (لاَ إَلهَ إِلاَّ هُوَ) mengisyaratkan ketauhidan zat, dan firman-Nya: الْحَيُّ القَيُّوْمُ)) menegaskan sifat zat dan kemuliaannya. القَيُّوْمُ)) Yang berdiri sendiri, tidak tergantung kepada zat lain, dan tempat bergantung semua entitas kehidupan. Tentunya, yang demikian itu puncak dari sebuah kemuliaan dan keagungan.
2. Tauhid Rububiyyah
Firman-Nya: (لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ) menyuguhkan penyucian dan kemuliaan terhadap-Nya dari segala sifat kemusnahan (seperti sifat-sifat makhluk) yang mustahil didapatkan dalam diri-Nya, firman-Nya: (لَهُ مَا فِيْ السَّموَاتِ وَمَا فِيْ الأَرْضِ) isyarat terhadap kepemilikan mutlak. Sesungguhnya dari Dia segala sesuatu, dan kepada-Nya tempat kembali segala sesuatu, dan firman-Nya: (مَنْ ذَ الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ) isyarat terhadap kepemilikan tunggal atas kekuasaan dan hukum. Sesungguhnya barang siapa yang memiliki hak memberi syafaat, maka ia pun memiliki dengan sendirinya hak untuk memuliakan diri-Nya. Tentunya, ini menunjukkan kepemilikan tunggal terhadap kekuasaan dan hukum-Nya dan menafikan dari diri-Nya persekutuan dengan makhluk apapun terhadap kepemilikan tersebut.
3. Tauhid Asma Wa Sifat
Firman-Nya: يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِم وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ)) menegaskan sifat ilmu Allah SWT yang meliputi segala sesuatu dan menafikan ilmu terhadap yang lain, kecuali ilmu itu sendiri datang dari-Nya sebagai bentuk anugerah terhadap hamba sesuai dengan keinginan-Nya, firman-Nya: (وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ) pernyataan terhadap keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya. Di sana masih banyak rahasia yang terselubung di balik makna (الكُرْسِيِّ), sifatnya, dan bagaimana ia meliputi langit dan bumi, yang karena keterbatasan tingkat pengetahuan manusia, maka di sini tidak dijelaskan, dan firman-Nya: (وَلاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا) isyarat terhadap sifat-sifat kekuatan Allah SWT (qudrah) dan penyucian terhadap-Nya dari segala bentuk kelemahan dan kekurangan.
4.Tauhid Uluhiyah
Firman-Nya: (وَهُوَ العَلِيُّ العَظيْمُ) isyarat terhadap ketinggian dan keagungan kedua sifat Allah itu sendiri yang tidak pernah habis memberikan pemaknaan bagi mereka yang ingin mengais darinya makna-makna ketauhidan.
Jika menelaah koleksi makna-makna ini, kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur’an, tidak akan dijumpai kumpulan makna ketauhidan, penyucian, dan penjelasan ketinggian sifat-sifat-Nya seperti apa yang ada dalam Ayat Kursi. Olehnya itu, sangat wajar jika ia digelar sebagai Sayyidah ayat-ayat Al-Qur’an.”

Imam Ghazali menjelaskan dalam Kitab Qawaa’idul Aqaaid fit-Tauhid (kaedah-kaedah tauhid) karyanya,beliau berpendapat bahwa:
Allah swt bukanlah jisim (corporeal) yang berbentuk, bukan jauhar (elemen) yang biasa di batasi dan di ukur. Dia tidak seperti jisim, yang boleh di ukur dan boleh di bahagi. Dia bukan jauhar dan juga bukan yang di tempati oleh jauhar, bukan ‘aradh (sifat yang ada pada elemen) dan juga bukan yang di tempati oleh ‘aradh, Dia tidak seperti segala sesuatu yang di wujudkan-Nya, bahkan segala sesuatu yang di wujudkan-Nya juga tidak seperti Dia.
Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia tidak sama dengan apa pun. Dia tidak boleh di ukur oleh apa pun dan tidak terjangkau oleh penjuru, Dia tidak di liputi oleh arah dan tidak termuat oleh bumi dan langit. Dia ‘bersemayam’ (istiwa’) di Arasy sesuai dengan maksud dan aspek yang di firmankan-Nya, sesuai dengan makna yang di kehendaki-Nya, dengan istiwa’ yang tersucikan dari bersentuhan, menetap, bertempat, menempati dan berpindah-pindah.
Dia tidak di bawa oleh Arasy, namun justru arasy dan para malaikat penjaga arasy di bawa oleh kelembutan Kekuasaan-Nya dan di paksa berada dalam ‘Genggaman-Nya’. Dia berada ‘di atas’ arasy, langit dan ‘di atas’ segala sesuatu sampai pada batas bintang yang tertinggi sekalipun, dengan ketinggian yang tidak boleh menambah dekat dengan arasy dan langit, sebagaimana tidak boleh semakin jauh dari bumi dan dataran yang paling rendah sekalipun, bahkan Dia-lah Yang Maha tinggi darjat-Nya dari arasy dan langit. Dia lebih tinggi darjat-Nya daripada bumi dan dataran paling rendah.
Meskipun begitu Dia lebih dekat dengan segala sesuatu yang ada, Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya. Dia menyaksikan segala sesuatu, dekatnya tidak sama seperti dekatnya jisim (benda), demikian pula Dzat-Nya. Dia tidak menempati benda dan tidak di tempati oleh benda. Tidak memerlukan ruang dan waktu, bahkan Dia wujud sebelum di ciptakannya ruang dan waktu, sementara Dia sekarang masih tetap seperti semula.
Dia sama sekali berbeda dengan makhluk-Nya dalam segi Sifat-sifat-Nya. Di dalam Dzat-Nya tidak ada unsur lain, sementara pada yang lain juga tidak ada Dzat-Nya. Dia suci dari segala perubahan dan penggantian, tidak di tempati oleh segala yang bersifat baru (hawaadits) dan tidak di hinggapi oleh sifat-sifat baru yang non-esensial, akan tetapi Dia senantiasa dalam Sifat-sifat keagungan-Nya yang tersucikan dari sifat aus dan sirna, dalam Sifat-sifat kesempurnaan-Nya itu tidak memerlukan penyempurnaan tambahan. Wujud Dzat-Nya dapat di ketahui secara rasional, dan dapat di lihat melalui mata hati, sebagai nikmat dan kelembutan-Nya terhadap orang-orang yang baik di syurga yang abadi, untuk menyempurnakan terhadap nikmat-nikmat-Nya adalah dengan boleh menyaksikan ‘Wajah-Nya’ Yang Mulia.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian terhadap tafsir ayat kursi dan nilai-nilai tauhid yang terkandung di dalamnya, kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan tersebut adalah:
1. Tauhid menurut Imam Al-Ghazali dibagi menjadi 4 meliputi: tauhid orang muslimin, tauhid orang munafik, tauhid orang muqabbirin, tauhid orang shadiqin.
2. Menurut Imam Al-Ghazali dalam ayat kursi terkandung nilai-nilai tauhid,
yang meliputi: pertama nilai tauhid uluhiyah yang menegaskan keesaan Allah SWT dan tiada sesuatupun yang dapat menyerupainya. Kedua, nilai tauhid rububiyah, meliputi: aspek bahwa Allah itu ada (wujud) dan Allah SWT itu maha kaya, merajai alam semesta. Ketiga, nilai tauhid Ubudiyah, yakni bahwa Allah tempat ibadah, dapat dimintai pertolongan, dan tujuan segala kehidupan.
3.2 Saran
            Setelah pembahasan makalah ini, diharapkan Mahasiswa pada khususnya dan Umat Islam pada umumnya dapat memahami Tauhid. Terutama nilai-nilai tauhid yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayt 255,sehingga dapat mengenal Allah SWT serta dapat mengamalkannya dengan ibadah dan pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari.
            Serta dapat mengambil hikmah betapa pentingnya ajaran tauhid ini bagi umat islam dan merupakan faktor terpenting untuk mengembalikan kejayaan islam.
Dengan mengenal Allah SWT sebagai Tuhan yang esa dan yang patut disembah, kita akan terhindar dari perbuatan syirik. 

DAFTAR PUSTAKA
“Keagungan Ayat Kursi”. Muhammad Taqi Falsafi.tahun 1992
“Studi Kitab Hadis”.DR.M.Abdurrahman,MA.Yogyakarta 2003
Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab”.DR.Ahmad Asy Syurbasi.tahun 1991
http://alhilyahblog.wordpress.com/2012/10/18/manfaat-dan-keutamaan-ayat-kursi/
http://ibnumajjah.wordpress.com/2012/10/15/keajaiban-ayat-kursi/
http://kilau-perjalanan.blogspot.com/2012/02/tafsir-ayat-al-kursi-surat-al-baqarah.html